Pangandaran, Jawa Barat, Media RCM.com – Skandal dugaan pelanggaran administratif kembali mengguncang Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Pangandaran. warga melaporkan terjadinya perubahan nama wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tanpa verifikasi dan persetujuan dari pemilik sah tanah.
Perubahan sepihak ini terjadi pada objek pajak yang berlokasi di Dusun Kasomalang, Desa Banjarharja, Kecamatan Kalipucang. Berdasarkan dokumen SPPT tahun 2020, tanah tersebut masih tercatat atas nama Saring, namun sejak tahun 2021, nama wajib pajak telah berubah menjadi Hamidah, tanpa prosedur administrasi resmi seperti jual beli, hibah, atau akta peralihan hak.
Berdasarkan aturan umum administrasi pajak daerah, penggantian nama pada SPT PBB tidak dapat dilakukan sembarangan. Prosedur resmi di Bapenda umumnya mencakup:
1. Permohonan Tertulis dari Pemilik Baru
Disertai dengan fotokopi KTP dan bukti legal penguasaan tanah (akta jual beli, akta hibah, putusan pengadilan, waris, dll).
2. Melampirkan Dokumen Pendukung
-Fotokopi SPPT tahun terakhir
– Fotokopi SHM atau alas hak lainnya
– Surat pernyataan kebenaran data
3. Pemeriksaan Lapangan oleh Petugas Bapenda
Tim verifikasi biasanya akan melakukan pengecekan fisik lokasi dan kroscek keabsahan dokumen.
4. Berita Acara Verifikasi
Harus ada tanda tangan pihak yang mengajukan dan persetujuan petugas.
5. Persetujuan Kepala Bapenda atau Pejabat Berwenang.
Setelah semua dokumen lengkap dan diverifikasi, barulah perubahan diproses dan diterbitkan SPT baru.
Jika perubahan dilakukan tanpa mengikuti prosedur tersebut, maka besar kemungkinan telah terjadi maladministrasi atau pelanggaran hukum.
Tak hanya pergantian nama, pemilik tanah juga mengungkap bahwa sebelumnya Bapenda diduga telah melakukan pengurangan luas tanah secara sepihak, menyebabkan nilai NJOP menjadi lebih kecil dari kondisi sebenarnya. Hal ini menjadi pintu masuk munculnya sertifikat hak milik (SHM) atas nama pihak lain, padahal tanah tersebut telah memiliki akta hibah resmi sejak tahun 2000 dan SPPT PBB aktif yang ditandatangani PPAT.
“Saya memiliki surat waris tahun 1985, surat ukur yang diketahui carik tahun 1987 dan memiliki akta hibah dan SPPT atas nama saya sejak tahun 2000 sesuai dan valid di tandatangani semua pihak yang terkait. Tapi sekarang sebagian tanah itu sudah bersertifikat atas nama orang lain,” kata pemilik tanah dengan nada kecewa.
Pemilik tanah sudah berkali-kali berusaha menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik, di antaranya:
• Menghubungi dan bertemu langsung dengan Kabid Bapenda Pangandaran
• Diteruskan ke pelaksana teknis bernama Pak Undang, yang beralasan bahwa pemutakhiran data dan peralihan administrasi dari Kabupaten Ciamis ke Pangandaran menjadi penyebab perubahan data dan semua pengajuan di mulai dari kantor desa.
• Namun, seluruh dokumen lama yang sah diabaikan, termasuk surat ukur, surat waris, akta hibah, dan bukti PBB.
Karena tidak mendapat kepastian, pemilik tanah lalu menghubungi staf kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Pangandaran bernama H. Tedy, yang membidangi urusan ini. Namun H. Tedy justru mengarahkan kembali untuk menghubungi pihak desa, camat, dan Bapenda, “ udah komunikasi lagi dengan pak undang, biar dia punya hak jawab” pungkas pak H.Tedy.
Warga juga mengungkap fakta bahwa harus bolak balik mengurus pajak karena didapati pada tahun 2021 -2022, pajak yang telah mereka bayarkan secara resmi melalui petugas penagihan pajak ternyata masih tercatat sebagai “terutang” di sistem Bapenda, menunjukkan adanya dugaan kelalaian pencatatan dan pembaruan data internal.
Kasus ini kini telah menjadi perhatian publik. Warga menuntut audit menyeluruh terhadap sistem Bapenda Pangandaran, serta mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Ombudsman RI, hingga aparat penegak hukum untuk turun tangan.
“Ini bukan sekadar soal pajak, tapi soal hak warga negara yang dirampas secara halus melalui celah administrasi, saya warga negara yang tertib administrasi dan taat pajak” tegas pemilik lahan.