TANGERANG,mediarcm.com-
Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah defamation, slander, calumny dan vilification.[1] Pengertian pencemaran nama baik menurut Oemar Seno Adji, pencemaran nama baik adalah suatu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang (aanranding of goede naam). Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu online di medsos Senin (27/05/2024)
“pencemaran nama baik di media sosial diatur dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (“RKUHP”) yang akan berlaku setelah 3 tahun sejak diundangkan[3] sebagai berikut.
Sebagai informasi Drs Achmad Chudlori SH, MH biro Hukum media Jawarah Banten com Angkat bicara berdasarkan Lampiran SKB UU ITE jika muatan/konten berupa penghinaan seperti cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas maka dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan Pasal 315 KUHP dan bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE (hal. 10).
Adapun, jika muatan/konten tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, maka bukan termasuk delik pencemaran nama baik (hal. 11).
Pakar hukum dosen Drs Achmad chudlori. SH, MH.biro Hukum Media Jawarah Banten com Menjelaskan paparan hukum terkait adanya aduan dari wartawan Jawarah Banten perlu
di garisbawahi, delik hukum pencemaran nama baik di media sosial yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 UU 19/2016 adalah delik aduan, sehingga hanya korban yang bisa memproses ke Polisi.
Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik Media Organisasi GWI
Dalam menentukan jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan ujarnya Achmad.
Dengan kata lain, ketua gabungnya wartawan Indonesia dpc kabupaten tangerang “Uje” ujang supendi yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya.
Konstitusi telah memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Sebab, orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban.
Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
(S.Bahri)