Dugaan Mafia Tanah di Banjarsari Blitar Mencuat, Warga Laporkan Perubahan Status Lahan ke Polisi

Reporter Basuki Blitar 34 Views

Blitar.MediaRCM.com – Dugaan praktik mafia tanah mencuat di Dusun Banjarsari, Desa Wonotirto, Kabupaten Blitar. Tim Panca Gatra bersama kelompok masyarakat “Maju Terus” melaporkan sejumlah pihak ke Polres Blitar terkait perubahan status lahan seluas sekitar 1.014 hektare yang diklaim sebagai tanah adat bekas Desa Banjarsari.

Dalam laporan tersebut, warga menyinggung nama mantan Bupati Blitar Rini Syarifah (Mak Rini), sejumlah pihak di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Blitar, serta Pemerintah Desa Wonotirto. Mereka diduga terlibat dalam penyalahgunaan program perhutanan sosial.

Namun demikian, seluruh tudingan ini masih menunggu klarifikasi dan pembuktian dari aparat penegak hukum.

Perwakilan masyarakat, Dr. Supriarno, SH, MH, menyatakan bahwa lahan di Dusun Banjarsari pada awalnya merupakan wilayah desa yang dihuni warga secara turun-temurun.

- Advertisement -

“Tanah di Dusun Banjarsari, Wonotirto, itu dulunya desa. Entah bagaimana, pada masa pemerintahan Bupati Mak Rini justru berubah menjadi kawasan hutan,” ujar Supriarno.

“Ia menegaskan bahwa persoalan utama bukan sekadar pembagian tanah, melainkan perubahan status lahan yang dinilai janggal dan merugikan warga.

“Yang paling krusial adalah tanah milik penduduk tiba-tiba berubah menjadi hutan. Ini yang kami duga sebagai praktik manipulasi mafia tanah dan harus diluruskan,” katanya.

Akibat perubahan status tersebut, warga yang semestinya berpeluang mendapatkan lahan 1 hingga 2 hektare melalui program redistribusi tanah justru hanya memperoleh sekitar 100 hingga 200 meter persegi.

Supriarno juga menyoroti pelaksanaan program perhutanan sosial yang dinilai tidak sesuai fakta di lapangan. Ia mempertanyakan penetapan kawasan hutan tanpa adanya aktivitas kehutanan yang nyata.

Tiba-tiba lahan itu dibagikan sebagai tanah redistribusi hanya 10 sampai 20 persen dari total 1.014 hektare. Kok bisa langsung disebut hutan? Menanam rumput saja tidak pernah, apalagi pohon hutan,” ujarnya.

Selain itu, ia menyebut masyarakat awalnya dijanjikan sertifikat tanah, namun tidak diberi pemahaman bahwa sertifikat yang diterbitkan bersifat kolektif dan hanya mencakup luas bangunan rumah.

Tim Panca Gatra mengaku telah mengirimkan sejumlah surat keberatan kepada berbagai pihak, di antaranya kepada Bupati Blitar dan Dinas Perkim pada 24 Januari 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 25 Februari 2025, serta permohonan pelepasan kawasan hutan Dusun Banjarsari pada 1 Oktober 2025. Selain itu, laporan pengaduan juga disampaikan ke Kapolres Blitar pada 19 Februari 2025 dengan melampirkan peta topografi Kodam V/Brawijaya sebagai dokumen pendukung.

Supriarno menilai penanganan laporan tersebut berjalan lambat.

“Sudah hampir satu tahun laporan ini belum ada kejelasan. Padahal ada bukti peta topografi dari Kodam V/Brawijaya yang kami serahkan,” katanya.

Di tengah polemik yang masih berlangsung, Pemerintah Kabupaten Blitar pada Senin, 29 Desember 2025, membagikan sebanyak 3.132 sertifikat PPTPKH kepada warga secara bertahap. Meski sebagian warga menerima sertifikat tersebut, Supriarno menyebut penerimaan itu dilakukan dengan perasaan terpaksa.

“Secara batin masyarakat menangis. Mereka lemah dan dilemahkan. Tanah leluhur mereka tiba-tiba berubah menjadi hutan,” pungkasnya.(**)

Penulis Bas

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *