Pekalongan, Media RCM – Pada tanggal 1 Juli 2023 mendatang kita akan memperingati hari Bhayangkara yang ke 77 tahun. Banyak yang belum tahu bahwa hari Bhayangkara adalah hari memperingati tonggak bersejarah penting di tubuh Polri.Sedangkan nama Bhayangkara sendiri adalah nama pasukan pada masa Kerjaan Majapahit dibawah naungan Patih Gajahmada.
Kalau kita lihat perjalanan Korp Kepolisian di Indonesia sudah ada pada jaman kolonial Belanda yaitu sekitar abad 18. Pada saat itu untuk jabatan strategis dan penting masih dipegang oleh kolonial Belanda sendiri, sedangkan dari kaum pribumi hanya sebagai pelaksana saja.
Setelah Indonesia merdeka pada Agustus 1945, PPKI membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN). Saat itu yang mengemban tugas sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN) yaitu R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo yang dilantik langsung oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 September 1945. Tugas Polri waktu itu disamping sebagai penegak hukum, juga ikut bertempur melawan penjajah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Serta pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI 1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian.
Polri dari tahun ke tahun selalu mengalami pasang surut. Diketahui pada awal kemerdekaan kepolisian berdiri sendiri, setelah adanya dekrit Presiden, Soekarno membentuk ABRI yang terdiri dari angkatan perang dan kepolisian. Kedudukannya sejajar antara kepolisian dengan TNI. Sampai dengan masa reformasi melalui ketetapan MPR nomor 6/MPR/2000 akhirnya terjadi pemisahan TNI dan Polri dan melalui ketetapan MPR juga nomor 7/MPR/2000 terjadi pemisahan peran antara TNI dan peran Polri.
Polri Dimasa Reformasi
Masih ingatkah peristiwa reformasi yang saat itu dipicu oleh krisis moneter? Mahasiswa berunjuk rasa besar-besaran menuntut Presiden Soeharto untuk segera turun. Disitu gejolak begitu besar sampai menyebabkan beberapa mahasiswa meninggal dunia saat unjuk rasa. Itulah yang menyebabkan tuntutan masyarakat agar institusi kepolisian segera memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dengan harapan, supaya Polri bisa mandiri dan menjadi lembaga yang profesional jauh dari intervensi dalam rangka penegakkan hukum di Indonesia.
Jenderal Roesmanhadi merupakan Kapolri pertama diera reformasi, yang saat itu punya misi supaya Polri bersifat humanis dan tidak ada jarak dengan masyarakat, sehingga Polri bisa menjadi lembaga yang disegani dan dicintai. Namun diawal reformasi Polri punya banyak tuntutan diantara pengusutan matinya wartawan Bernas, kasus Marsinah dan pengembalian stabilitas keamanan setelah turunnya rezim Soeharto. Itulah sebabnya menjadikan Polri bersifat humanis belum bisa sebagai prioritas utama.
Kapolri kedua diera reformasi selanjutnya adalah Jenderal Roesdiharjo. Dia mencoba untuk mengembalikan lembaga kepolisian pada jati dirinya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Polisi juga dituntut untuk aktif turun ke lapangan, sehingga tak hanya pasif menunggu laporan di kantor. Lagi-lagi ada kasus besar menimpa institusi Polri dengan adanya kasus yang menimpa Hutomo Mandala Putra yang merupakan anak dari mantan Presiden. Jenderal Roesdiharjo diberhentikan oleh Presiden Gus Dur karena dianggap tidak menjalankan perintah untuk menangkap Hutomo Mandala Putra. Walaupun disitu menimbulkan polemik karena Presiden Gus Dur tidak meminta persetujuan dari DPR.
Polri Dimasa Milenial
Di tahun 2000 banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Polri sendiri seperti pelanggaran tindak pidana dan tata tertib. Dari Perwira, Bintara, maupun Tamtama Kepolisian. Sebanyak 317 orang anggota Polri telah dipecat sepanjang tahun 2000 itu. Sebanyak 99 orang dipecat secara tidak hormat. Mereka terlibat tindak pidana dan pelanggaran tata tertib.
Di tahun yang sama juga ada sebanyak 175 orang personil Polri yang tewas saat menjalankan tugas. Seperti di sejumlah daerah konflik di Tanah Air seperti di Irian Jaya, Maluku, dan Aceh. Rinciannya, 83 orang gugur di Aceh, 36 orang tewas di Maluku, 12 orang di Irian Jaya, dan 44 orang tewas di tempat lainnya. Sementara korban luka-luka berjumlah 459 personil. Dari jumlah itu, 277 orang cedera saat bertugas di Aceh, 84 orang di Maluku, 35 orang di Irian Jaya, dan 63 orang di tempat lainnya. Tak pelak, 167 orang istri menjadi janda dan 638 orang anak menjadi yatim.
Masih ingatkah kerusuhan di Rutan Salemba Mei 2018? Dalam kejadian itu, lima anggota Polri dan satu narapidana teroris meninggal dunia. Nama korban meninggal dari anggota Polri adalah IPTU Yudi Rospuji Siswanto, AIPDA Deni Setiadi, BRIGPOL Fandi Setyo Nugroho, BRIPTU Syukron Fadli, dan BRIPTU Wahyu Catur Pamungkas. Dari lima anggota Polri itu mayoritas luka akibat senjata tajam di leher dan lukanya sangat dalam. Meninggalnya personel Polri tidak hanya menyisakan duka bagi Bhayangkara namun juga bagi anggota keluarganya.
Ada juga kisah yang menimpa AIPTU Erwin Yudha anggota Polres Kota Cianjur yang terbakar saat mengamankan demo mahasiswa di Cianjur pada tahun 2019. Saat itu mengawal jalannya aksi demo dan berusaha memadamkan ban yang terbakar. Tiba-tiba ada oknum yang melemparkan bahan bakar minyak dan api langsung menyambar tubuh Erwin. Teman Erwin melihat kalau rekannya terbakar, berusaha menyelamatkan Erwin, tetapi malah ikut terbakar. Mereka adalah BRIPDA FA Simbolon, BRIPDA Yudi Muslim dan BRIPDA Anif, BRIPDA Yudi Muslim. Rata-rata luka bakar hampir 80 persen. Begitulah resiko menjadi anggota Polri.
Masih ditahun 2019 saat pemilihan umum ada 16 anggota kepolisian yang gugur saat mengamankan penyelenggaraan Pemilu 2019. Karena saat itu desain pemilu serentak 2019 sangat menyita waktu dan fisik yang mengakibatkan kelelahan fisik inilah yang dinilai menjadi faktor utama yang menyebabkan anggota Polri meninggal. Karena aktifitas 100 persen lebih dibanding pemilu 2014. Diketahui di 2014 juga ada 8 orang anggota meninggal dan 2019 meningkat menjadi 16 orang anggota.
Polri Dimasa Presisi
Kepolisian di era Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menerapkan konsep Presisi sangat diapresiasi oleh semua kalangan. Presisi merupakan kepanjangan dari prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Konsep ini merupakan gagasan Jenderal Sigit dengan harapan bahwa Polri agar lebih profesional dan objektif, dengan memberlakukan hukum yang setara bagi semua masyarakat, tidak terkecuali bagi jajarannya.
Itupun tidak berjalan dengan mudah, melainkan banyak tantangan Polri dalam menegakkan keadilan, profesionalitas dan memberlakukan hukum yang sama. Contoh paling viral saat itu kasus besar yang melibatkan Jenderal berpangkat bintang dua Irjen Ferdy Sambo yang menembak anggotanya, kasus kanjuruhan yang menyebabkan meninggalnya penonton sepakbola sebanyak 134 orang dan juga kasus narkoba yang melibatkan Irjen Teddy Minahasa.
Namun demi marwah Kepolisian Republik Indonesia yang presisi, institusi Polri selalu mengedepankan kepentingan masyarakat, keamanan dan selalu bisa mengayomi serta berkeadilan. Tantangan demi tantangan, selalu bisa diatasi Polri. Dalam kepemimpinan Jenderal Sigit sekarang Polri memprioritaskan humanis terhadap masyarakat. Kritik dan saran selalu terbuka, apalagi di jaman serba digital dituntut cepat tanggap dalam menangani segala keluhan masyarakat. Polri juga melalui divisi humasnya bekerjasama dengan lembaga-lembaga, seperti KPU yang sebentar lagi akan mengadakan Pemilu serentak yang tentunya rawan konflik kepentingan. Bekerjasama juga dengan insan media, LSM, dan lembaga lainnya di masing-masing Polres guna kondusitas wilayah. (Dudi R)