LBH GPBI yang dikomandoi oleh Ketua LBH, Muhammad Fadhil, S.H., dan didampingi oleh Sekretaris Jenderal DPP GPBI

Reporter Media RCM DKI 317 Views

LBH GPBI Advokasi 43 Warga Waetuno: Soroti Dugaan Peradilan Sesat

Wakatobi – Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pekerja Buruh Indonesia Raya (LBH GPBI), sayap buruh dari Partai Gerindra, kini tengah mengadvokasi 43 warga Waituno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, dalam kasus sengketa tanah yang telah mencapai tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

- Advertisement -

Kasus ini mendapat sorotan tajam lantaran dugaan peradilan sesat dan ketidakobjektifan hakim dalam menangani perkara tersebut.

Sejak awal persidangan,-Mediarcm.com LBH GPBI yang dikomandoi oleh Ketua LBH, Muhammad Fadhil, S.H., dan didampingi oleh Sekretaris Jenderal DPP GPBI, Binson Purba, S.H., menemukan banyak kejanggalan dalam putusan di setiap tingkatan pengadilan.

Dari pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, keputusan yang diambil oleh majelis hakim dinilai tidak mencerminkan keadilan dan mengabaikan bukti-bukti kuat yang diajukan warga.

Sebanyak 43 warga Waituno telah menempati tanah tersebut secara turun-temurun.

Hak kepemilikan mereka didasarkan pada sejarah penguasaan fisik yang berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka.

Namun, dalam putusan hakim, hak ini seolah diabaikan, meskipun warga telah menyertakan bukti sejarah serta penguasaan fisik atas tanah tersebut.

Dasar Gugatan Penggugat Lemah dan Tidak Jelas

Penggugat dalam perkara ini mendalilkan bahwa warga telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menduduki tanah yang telah bersertifikat hak milik (SHM).

Namun, hasil penelusuran LBH GPBI menemukan berbagai kejanggalan dalam klaim tersebut:

Penggugat mengklaim tanah diperoleh melalui transaksi jual beli pada tahun 1963, tetapi dokumen jual beli tidak mencantumkan luas serta batas-batas tanah secara jelas.

Akta jual beli ditandatangani oleh seseorang bernama Laode Muharuddin, yang mengaku sebagai Camat pada tahun tersebut.

Berdasarkan fakta yang ditemukan, pada tahun 1963 wilayah kecamatan masih bernama Wandupa (Wangi-Wangi dan Kaledupa) dengan ibu kota di Buranga, di mana Camat yang menjabat saat itu adalah Pelda Infantri Abdul Rahim dan wakilnya Moi Syarifuddin.

Pemeriksaan Setempat yang Tidak Objektif

Ketika majelis hakim melakukan pemeriksaan setempat terhadap objek sengketa, ditemukan bahwa penggugat tidak dapat menunjukkan batas-batas tanah secara jelas.

Selain itu, hakim dinilai tidak melakukan penelusuran secara menyeluruh terhadap objek sengketa, yang semakin memperkuat dugaan adanya ketidakobjektifan dalam proses peradilan.

LBH GPBI Akan Tempuh Langkah Hukum Lanjutan

Kendati 43 warga kalah hingga tingkat kasasi, LBH GPBI menegaskan tidak akan tinggal diam dan siap mengambil langkah hukum lanjutan demi keadilan bagi masyarakat.

Beberapa upaya yang akan ditempuh antara lain:

Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan menyertakan bukti baru yang menunjukkan kesalahan dalam pertimbangan hukum serta cacat prosedural dalam putusan sebelumnya.

Melaporkan dugaan peradilan sesat dan ketidakobjektifan hakim ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) guna meminta evaluasi terhadap putusan yang dinilai tidak adil.

Mendorong investigasi terhadap penerbitan sertifikat tanah yang menjadi dasar gugatan, mengingat terdapat ketidaksesuaian fakta dalam dokumen jual beli serta penerbitan sertifikat.

Mengadvokasi hak warga ke pemerintah daerah dan pusat, agar pemerintah lebih melindungi hak tanah masyarakat adat yang telah ditempati secara turun-temurun.

Perjuangan Keadilan untuk Warga Waituno

LBH GPBI menilai bahwa putusan yang dijatuhkan dalam perkara ini tidak mencerminkan prinsip keadilan, terutama bagi warga yang telah menguasai tanah secara turun-temurun.

Dengan berbagai kejanggalan dalam proses hukum, LBH GPBI akan terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum yang berpihak kepada keadilan bagi masyarakat.

Masyarakat diharapkan untuk terus bersatu dan mendukung langkah hukum yang sedang ditempuh demi mempertahankan hak atas tanah yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun. Keputusan yang diambil dalam kasus ini akan menjadi preseden penting dalam perlindungan hak tanah masyarakat adat di Indonesia.**/Tim

Tag
Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *