Surakarta, Media RCM – Ramainya beranda medsos dengan berbagai kabar jangan sampai mengalihkan perhatian kita pada isu pendidikan seperti PPDB. Sistem ini banyak memunculkan masalah. Korupsi antara lain.
Adalah 11 Juli tahun 2017 aturan PPDB terbit dan pertama kali dijalankan. Regulasi yg rilis dalam rupa Permendikbud No. 17 Thn 2017 tentang PPDB itu menyebutkan, tiap sekolah yang diselenggarakan pemda wajib menerima siswa baru yang berdomisili di radius zona terdekat dari sekolah. Minimal calon peserta didik yang diterima dari daerah bersangkutan berjumlah 90% dari keseluruhan. Radius zona terdekat ditetapkan pemda sesuai dengan kondisi daerah setempat. 10%-nya, pemda boleh menerima calon peserta didik dari luar zona yang sudah disepakati, asalkan dari 2 jalur. Pertama, dari jalur prestasi. Total kuotanya 5%. Jalur kedua ialah pindah domisili. Sama, jatahnya 5% dengan rute ini. Mudahnya, sistem ini disebut zonasi.
Catatan, regulasi itu tak berlaku untuk SMK negeri dan sekolah swasta. Komposisi dalam aturan itu disebutkan juga, alamat zonasi harus klop dengan KK calon siswa. Dalam pernyataan resmi Kemendikbud kala itu, dibuatnya PPDB dengan harap tak ada lagi pengotakan sekolah. Satu dipandang favorit, lainnya tidak. Tapi bukan regulasi itu titik masalahnya. Induk bala kekisruhan PPDB 2023 ialah Permendikbud No. 1 Thn 2021.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, menuturkan, aturan yang rilis untuk merevisi Permendikbud No. 17 Thn 2017 itu belum pernah ditinjau ulang hingga sekarang. Regulasi penerimaan siswa baru sejak 2 tahun lalu itu juga jadi acuan di daerah dan ditafsirkan berbeda oleh tiap pemda.
Dampak yang timbul, regulasi itu punya aturan turunan yang berlainan di saban wilayah, bahkan tak sedikit satu sama lain berbenturan. Masih menurut Ubaid, kegaduhan di banyak daerah menunjukkan bila Permendikbud 2021 memang bermasalah. Beda cerita semisal cuma di satu-dua tempat, maka boleh jadi biang kerok masalah PPDB ada di pihak pemda.
Selama ini, telunjuk jari Mendikbudristek Nadiem Makarim selalu diarahkan ke hidung pemda menyusul muncul berulangnya ragam masalah PPDB. PPDB 2023 diketahui banyak menuai protes di sejumlah daerah. Sebut saja di Solo. Di sini, satu di antara masalah yg ditemukan ialah pelaksanaan jalur prestasi. LSM LAPAAN RI yang diwakili DR.BRM. Kusumo Putro, SH, MHUM menyatakan ketidakjelasan definisi prestasi menimbulkan kesenjangan pengaturan skor prestasi. Masalah lainnya, daalam temuan P2G migrasi domisili dengan modus menitipkan nama calon siswa dalam KK kerabat/warga yang tinggal atau dekat dengan sekolah. Pemandangan ini jamak terjadi di daerah yang punya sekolah unggulan atau favorit.
“Kasus seperti itu terjadi di Jateng, Jabar, DKI, Jatim, dan terbaru di Kota Bogor,” ungkap Satriawan Salim, Koordinator P2G. Bukan cuma itu. Akibat sistem zonasi, karena berjubel pendaftar dan terbatasnya daya tampung, tak sedikit sekolah yang tak bisa menerima calon siswa.
Yang terjadi kemudian, banyak sekolah sepi peminat di satu pihak. Di Jateng seperti Magelang, Temanggung, Solo, Sleman Klaten, juga Batang ditemui kasus kekurangan siswa. Hal serupa juga dijumpai di Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Pada PPDB 2022, sebanyak 21 SMP negeri di Batang kekurangan siswa. Hingga akhir Juni kemarin, sebanyak 12 SMP negeri di Jepara minim siswa baru pada PPDB 2023. Sama, di PPDB 2023, 3 SMA negeri di Yogyakarta sepi peminat, dan 99 SD negeri di Kab. Semarang juga demikian, Solo ada 2 SD negeri hanya 1 siswa. Persoalan lainnya ialah makin marak jual-beli kursi, siswa titipan, dan pungli sejak 3 tahun terakhir. Problem ini ditemui hampir di semua daerah.
Protes PPDB juga muncul dari lembaga pemerintah sendiri. Belakangan, sejumlah anggota DPR ramai-ramai mengoreksi sistem ini. Mewakili DPR RI, Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno menuturkan, PPDB belum berdampak pada pemerataan akses dan mutu pendidikan.
Padahal, lanjut Eddy, pendidikan berkualitas adalah hak tiap anak, sesuai amanah Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 34 Sistem Pendidikan Nasional. (Yustinus Fajar Setyawan)