Kontroversi Mutasi Sepihak Rudianto, KKRB Bulukumba Kecam Keputusan KSP Pamordian Sejahtera

Reporter Media RCM SULSEL 179 Views

MediaRcm_Bulukumba — Di sebuah siang yang lengang, Rudianto duduk menatap lembaran kertas yang telah berkali-kali ia baca. Kertas itu tampak biasa: putih, rapi, ditandatangani.

Namun bagi dirinya, surat bertanggal 30 Oktober 2025 itu adalah awal dari rasa resah yang belum pernah ia alami selama masa kerjanya.

Surat itu adalah mutasi. Namun bukan sekadar mutasi biasa—melainkan mutasi yang, menurutnya, dilakukan tanpa musyawarah, tanpa dialog, dan tanpa penjelasan memadai. Lebih mengejutkan lagi, di akhir surat tertulis ketentuan bahwa jika ia tidak hadir dalam pemanggilan pada 3 November 2025, maka ia akan dianggap mengundurkan diri.

Bagi Rudianto, yang telah bekerja bertahun-tahun, kalimat itu terasa seperti hantaman yang perlahan-lahan memotong garis perjalanan panjangnya.

- Advertisement -

Mutasi Dinilai Sepihak dan Tidak Dimusyawarahkan

Menurut informasi yang beredar, mutasi tersebut bukan hanya perubahan jabatan dan penempatan, melainkan juga disertai konsekuensi berat: jika tidak hadir dalam pemanggilan, maka statusnya dianggap mengundurkan diri.

Tidak ada ruang dialog. Tidak ada penjelasan. Tidak ada tahap-tahap sebagaimana prosedur ketenagakerjaan yang seharusnya dijalankan.

“Mutasi seperti ini tidak bisa dilakukan sepihak. Pekerja harus diajak bicara, dimusyawarahkan, dan diberi penjelasan yang layak,” ujar kerabat dekat Rudianto.

Kecaman dari Komite Konsolidasi Rakyat Bulukumba

Ketua Komite Konsolidasi Rakyat Bulukumba, Syahrul Gempark, menanggapi kasus ini dengan keras. Ia menyebut dugaan tindakan terhadap Rudianto sebagai bentuk ketidakadilan yang tidak boleh dibiarkan.

“Ini dugaan PHK sepihak yang sangat merugikan pekerja. Apa pun bentuk mutasinya, jika disertai ancaman dianggap mengundurkan diri, itu bukan prosedur yang benar,” tegas Syahrul, Minggu (23/11).

Ia menilai bahwa tindakan seperti itu dapat melanggar aturan ketenagakerjaan yang telah ditetapkan pemerintah.

Baca Juga:  Petani di Desa Bialo Belajar Membuat Pupuk Organik Cair

Aturan Perundangan yang Relevan
Dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia, beberapa aturan penting menegaskan posisi pekerja dalam menghadapi mutasi maupun pemutusan hubungan kerja:

1. UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 (dan perubahannya melalui UU Cipta Kerja)
Undang-undang ini menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dilakukan sepihak, dan harus melalui alasan yang sah serta prosedur yang jelas.

2. Mekanisme SP (Surat Peringatan)
PHK hanya dapat dilakukan jika ada pelanggaran yang dibuktikan, serta telah melalui tahapan SP1 → SP2 → SP3. Tanpa tahapan ini, PHK dapat dianggap cacat prosedur.

3. Larangan Pemberlakuan “Dianggap Mengundurkan Diri”

Dalam ketentuan ketenagakerjaan, pekerja tidak dapat dianggap resign hanya karena tidak hadir pada satu perintah kerja, terlebih jika tidak melalui proses pembuktian dan pemeriksaan yang sah. Pengunduran diri hanya sah apabila dibuat secara sukarela dan tertulis oleh pekerja itu sendiri.

Ketentuan-ketentuan ini membuat banyak pihak menilai bahwa mutasi yang dialami Rudianto—terlebih dengan ancaman dianggap mengundurkan diri—patut dipertanyakan dasar hukumnya.

Hingga saat ini Rudianto masih menunggu informasi dan kejelasan tuntutannya yang akan diagendakan dalam pertemuan mediasi kedua yang difasilitasi Pihak mediator Disnaker Bulukumba pekan depan.

Rudianto, ia terus mengenang dan menatap perjalanan panjang yang telah ia lalui. Meski langkahnya tersandung oleh sebuah surat, ia tetap percaya bahwa keadilan bisa diperjuangkan—walau harus dimulai dari satu suara kecil yang berani berkata tidak.

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *