Blitar.MediaRCM.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Blitar kembali menjadi perhatian publik setelah foto dan video paket menu untuk siswa SMPN 4 Kota Blitar viral di media sosial. Paket tersebut berisi telur mentah dan dibagikan secara dirapel untuk tiga hari sekaligus, bukan secara harian sesuai ketentuan. Kondisi ini memicu kritik tajam dari masyarakat.
Temuan pembagian bahan mentah dan penggabungan menu beberapa hari sekaligus menimbulkan kekhawatiran karena dinilai menyalahi standar gizi serta berpotensi membahayakan kesehatan siswa. Banyak orang tua mengaku bingung dan resah, mengingat program MBG seharusnya memberikan makanan siap konsumsi yang bernutrisi.
Ketegangan makin meningkat setelah muncul pernyataan berbeda antara pihak sekolah dan penyedia makanan (SPPG). Penanggung jawab MBG di SMPN 4, Restu Hapsari Rahayu, membenarkan adanya paket telur mentah dan pola distribusi tiga hari, namun menegaskan bahwa sekolah tidak pernah meminta menu tersebut. Ia menyebut sekolah hanya meminta menu kering yang mudah dibawa siswa, terutama karena sebagian tengah mengikuti kegiatan class meeting.
Sebaliknya, Kepala Dapur SPPG YASB Sananwetan, Ahmad Habibi, menyatakan bahwa pembagian telur mentah dan sistem distribusi tiga hari dilakukan atas permintaan sekolah. Menurutnya, telur mentah dipilih karena jika dimasak terlebih dahulu dikhawatirkan akan basi saat dibagikan untuk tiga hari.
Kontradiksi antara penjelasan sekolah dan penyedia memicu kebingungan sekaligus kemarahan publik. Alih-alih menyediakan menu bergizi siap konsumsi, paket yang dibagikan justru berupa bahan mentah tanpa pengawasan dan standar persiapan yang jelas. Orang tua mempertanyakan bagaimana kualitas, kontrol gizi, dan tujuan program dapat terpenuhi dengan pola distribusi yang demikian.
Isi paket MBG yang memancing kritik itu antara lain beberapa butir telur mentah, susu kemasan, buah-buahan, keju, dan roti — yang semuanya harus diolah atau dikonsumsi sendiri oleh siswa di rumah tanpa panduan gizi yang memadai.
Keresahan ini menggambarkan persoalan lebih luas dalam pelaksanaan program MBG, mulai dari lemahnya pengawasan, buruknya komunikasi antara penyelenggara dan sekolah, hingga minimnya transparansi. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat mengurangi efektivitas program dan menjauhkan MBG dari tujuan utama untuk meningkatkan asupan gizi siswa.
Selain memicu polemik di lingkungan sekolah, kasus ini juga mendapat perhatian dari sejumlah pemerhati pendidikan dan kesehatan masyarakat. Mereka menilai bahwa pola distribusi bahan mentah tanpa standar penyimpanan serta tanpa edukasi kepada siswa maupun orang tua berpotensi menimbulkan risiko kesehatan, terutama jika bahan tersebut tidak diolah dengan benar.
Sejumlah pihak juga menyoroti minimnya sosialisasi terkait mekanisme penyaluran MBG, baik dari penyedia maupun dinas terkait. Kurangnya penjelasan yang komprehensif dinilai menjadi salah satu faktor munculnya miskomunikasi dan saling lempar tanggung jawab antara sekolah dan penyedia.
Penulis Bas



