Sumbawa Besar|NTB,– Dewan Pengurus Pusat (DPP) Front Pemuda Peduli Keadilan Pulau Sumbawa (FPPK-PS) angkat bicara keras terkait dugaan praktik komersialisasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024/2025 yang kini tengah berlangsung di berbagai sekolah jenjang SD, SLTP, hingga SMA sederajat.
Ketua Umum DPP FPPK-PS, Abdul Hatab, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pemantauan intensif terhadap proses PPDB, menyusul temuan tahun sebelumnya (2023/2024), di mana sejumlah sekolah diduga menjual seragam dan peralatan sekolah kepada calon siswa baru sebagai bagian dari syarat daftar ulang.
“Bahkan, pembelian seragam di sekolah dijadikan syarat wajib untuk bisa mendaftar ulang. Ini jelas melanggar aturan,” tegas Abdul Hatab dalam keterangannya kepada media, Minggu (29/6/2025).
Ia mengingatkan bahwa praktik semacam ini melanggar ketentuan Pasal 181 dan Pasal 198 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang secara tegas melarang pendidik dan tenaga kependidikan menjual seragam ataupun bahan seragam sekolah.
“Kalau hal ini masih terus terjadi, kami akan segera melaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan NTB untuk membangun kemitraan dalam meretas tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat dan menguntungkan oknum atau kelompok tertentu. Ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, bahkan mengarah pada konspirasi dan persengkokolan jahat,” ujar Hatab.
Ia juga menyoroti regulasi yang lebih spesifik, yakni Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam Pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa pengadaan pakaian seragam sekolah sepenuhnya merupakan tanggung jawab orang tua atau wali murid.
“Jelas dalam aturan tersebut bahwa sekolah tidak memiliki kewenangan untuk menjual, apalagi mewajibkan siswa membeli seragam dari sekolah,” tegas Hatab.
Sebaliknya, Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa bantuan pengadaan seragam justru ditujukan kepada peserta didik dari keluarga tidak mampu, dan menjadi bagian dari kepedulian pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat.
Lebih lanjut, Pasal 13 Permendikbud 50/2022 juga menyatakan bahwa sekolah tidak boleh mengatur kewajiban atau memberikan pembebanan kepada orang tua untuk membeli seragam baru pada setiap kenaikan kelas atau saat penerimaan siswa baru.
FPPK-PS juga mencatat bahwa pada tahun ajaran sebelumnya, beberapa sekolah memungut biaya dengan dalih untuk pengadaan berbagai perlengkapan sekolah, namun hanya sebagian kecil dari barang-barang tersebut yang benar-benar diterima oleh siswa.
“Modusnya adalah mencantumkan berbagai peralatan sekolah dalam daftar syarat pendaftaran, kemudian memungut biaya atasnya. Tapi kenyataannya, siswa hanya menerima sebagian. Ini harus diaudit,” seru Hatab.
Atas dasar temuan tersebut, FPPK-PS menyerukan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) di setiap kabupaten/kota, khususnya di Pulau Sumbawa, untuk tidak menutup mata dan segera menertibkan praktik-praktik menyimpang dalam proses PPDB tahun ini.
“Kami minta Dikbud dan Ombudsman Ntb,untuk turun langsung ke sekolah-sekolah dalam pengawasan penerimaan siswa baru. Jangan jadikan PPDB tersebut di duga sebagai ladang keuntungan bagi oknum tertentu. Pendidikan adalah hak dasar rakyat yang harus dilayani dengan adil dan transparan,” pungkas Hatab.
FPPK-PS juga membuka ruang pengaduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktik-praktik semacam ini, dan berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap laporan hingga ke ranah hukum bila diperlukan. (Af)