MediaRCM| Jepara – Dugaan pelanggaran serius terhadap pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) mencuat di Desa Gedangan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara. Sebidang tanah seluas 26079 meter persegi yang tercatat sebagai BMN milik Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) diduga telah dimanfaatkan dan dikuasai tanpa mekanisme hukum yang sah.

Tanah negara tersebut berada dalam penguasaan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana – Wilayah Sungai Jratunseluna, selaku Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Namun di atasnya kini berdiri berbagai bangunan permanen, antara lain Tower BTS, Balai Desa Gedangan, Terminal Gedangan, GOR Sepak Takraw, lapangan sepak bola, deretan ruko dan bangunan usaha, Tugu Macan Kurung Welahan, hingga SPBU 44.594.29.
Diduga Dikuasai Tanpa Skema Pemanfaatan BMN
Persoalan tersebut dibahas dalam forum bedah kasus yang digelar pada Minggu (14/12/2025) di Kelurahan Bapangan oleh Adv. Tarto Widodo, SE., SH., MH & Partners, didampingi Dr. Djoko Tjahyo Purnomo, A.Pi., S.H., M.M., M.H., bersama perwakilan warga Desa Gedangan, Edy Santoso alias Mbah San dari DPC LPHI Jepara, serta Azhari dari LSM Central Java Police Watch (CJPW).
Adv. Tarto Widodo, SE., SH., MH, bersama Dr. Djoko Tjahyo Purnomo, A.Pi., S.H., M.M., M.H., mengungkapkan bahwa pemanfaatan tanah tersebut diduga tidak pernah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang, sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 27 Tahun 2014 jo. PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan BMN/BMD.
“Secara hukum, Kementerian PUPR dan BBWS hanya berstatus sebagai Pengguna Barang, bukan pemilik. Setiap bentuk pemanfaatan oleh pihak lain wajib melalui skema resmi dan persetujuan Menteri Keuangan. Jika tidak, maka itu adalah penguasaan BMN tanpa hak,” tegas Dr. Djoko Tjahyo Purnomo.
Penerbitan HGB Dipertanyakan
Informasi bahwa sebagian tanah BMN tersebut telah di kapling dan diterbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) hingga tahun 2035 menimbulkan persoalan hukum serius. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, BMN tidak dapat langsung dibebani HGB, kecuali melalui mekanisme pemanfaatan BMN dan persetujuan tertulis Menteri Keuangan.
“Jika benar HGB diterbitkan tanpa melalui prosedur itu, maka sertipikat tersebut cacat administrasi dan berpotensi batal demi hukum,” ungkap pihak pendamping hukum.
Tower BTS Jadi Pintu Masuk Bongkar Persoalan
Polemik ini mengemuka setelah empat warga Desa Gedangan yaitu: Nuf’an Noor Mariyanto, Agung Budiyono, Sutriman, dan Riyanto memberikan kuasa hukum untuk pendampingan terkait keberadaan Tower BTS milik PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk atau Mitratel (PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk), khususnya sebagai warga yang berada di wilayah Ring 1 dan Ring 2.
Keberadaan tower tersebut dinilai menjadi pintu masuk untuk mengurai persoalan yang lebih besar, yakni alih fungsi dan penguasaan tanah negara secara sistematis.
Kepmen PU Tidak Bisa Jadi Tameng
Merujuk pada Keputusan Menteri PUPR Nomor 387/KPTS/M/2025, tim hukum menegaskan bahwa keputusan tersebut bersifat administratif internal, bukan dasar hukum untuk mengalihkan, menghibahkan, atau melegalkan pemanfaatan BMN oleh pemerintah desa atau pihak swasta.
“Secara hierarki hukum, Kepmen tidak boleh melampaui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Jadi tidak bisa dijadikan tameng pembenaran,” tegasnya.
Potensi Pelanggaran Administratif hingga Tipikor
Apabila dugaan pemanfaatan tanah BMN tanpa izin ini terbukti, maka berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi hukum serius, antara lain:
– Pelanggaran administratif, termasuk pembatalan izin, pembatalan hak atas tanah, serta penertiban aset negara.
– Perbuatan melawan hukum secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
– Pidana umum, terkait penguasaan dan pemanfaatan tanah tanpa hak.
– Tindak pidana korupsi (Tipikor) apabila terbukti menimbulkan kerugian keuangan negara atau dilakukan melalui penyalahgunaan kewenangan.
Secara eksplisit, dugaan pelanggaran ini dapat dikualifikasikan ke dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, khususnya:
– Pasal 2 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
– Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Dalam konteks ini, pemanfaatan BMN tanpa persetujuan Menteri Keuangan berpotensi menghilangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa sewa, kontribusi tetap, atau bagi hasil yang seharusnya disetorkan ke Kas Umum Negara, sehingga memenuhi unsur kerugian keuangan negara.
Oleh karena itu, selain penertiban administratif, kasus ini berpotensi menjadi objek penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum.
Kasus ini dinilai bukan sekadar konflik lokal, melainkan ujian serius terhadap komitmen negara dalam menjaga dan menertibkan aset negara dari penguasaan tanpa hak.
Sumber : Dr. Djoko Tjahyo Purnomo
Catatan:
- BMN – Barang Milik Negara
- BBWS – Balai Besar Wilayah Sungai
- DJKN – Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
- KPKNL – Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
- Tower BTS – Base Transceiver Station



