*”Negara Hukum yang Palsu: Ketika PPID Kota Probolinggo Rampas Hak Warga dan Berdiri Lawan Hukum”*

Reporter Media RCM Banten 25 Views

 

Kota Probolinggo ll mediarcm.com ll 12 Desember 2025  – Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan tegas: Indonesia adalah negara hukum, di mana supremasi hukum menjadi pijakan yang tak tergoyangkan — tidak seorang pun, termasuk pejabat negara, boleh berdiri di luar naungan hukum. Namun, realitas di Kota Probolinggo menggambarkan ironi yang menyakitkan: mereka yang seharusnya menjaga hukum justru yang paling cepat melanggarnya. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kota Probolinggo telah membangkang putusan Komisi Informasi (KI) Jawa Timur yang sudah mencapai status “Inkracht Van Gewijsde” (mengikat mutlak), sementara perintah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) seolah-olah hanyut tanpa jejak. Pertanyaan yang mengganggu muncul: apakah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) hanyalah kertas kosong jika pemilik negara sendiri tidak mau taat?

Sebagai lembaga pengawas pelaksanaan UU KIP, KI Jatim telah mengeluarkan putusan yang menyatakan PPID Kota Probolinggo melanggar ketentuan hukum terkait akses informasi publik. Status “Inkracht Van Gewijsde” pada putusan itu berarti tidak ada jalan untuk menolak — harus dilaksanakan segera, tanpa syarat apapun. Namun, yang terjadi justru kebalikan: PPID tampak lengah, bahkan mengabaikan perintah PTUN yang seharusnya menegaskan kewajiban pelaksanaannya.

Kejadian ini bukan hanya melanggar hak asasi manusia masyarakat atas informasi — yang merupakan tulang punggung demokrasi — tetapi juga meruntuhkan fondasi kepercayaan pada institusi negara. Jika putusan lembaga yang sah bisa dihilangkan begitu saja oleh pejabat publik, maka hukum kehilangan maknanya sebagai alat penegak keadilan.

- Advertisement -

UU KIP 2008 dibuat untuk memberikan kepastian bagi masyarakat mengakses informasi publik yang dimiliki badan publik. Pasal 7 UU KIP menegaskan kewajiban PPID: menyediakan, memberikan, dan menerbitkan informasi yang akurat, benar, dan mudah diakses — kecuali yang termasuk kategori dikecualikan. Keterbukaan informasi ini adalah kunci untuk menumbuhkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam negeri.

Tetapi ketika PPID Kota Probolinggo menolak mematuhi putusan KI dan PTUN, semua tujuan itu hancur berkeping-keping. UU KIP yang seharusnya menjadi perisai hak masyarakat justru berubah menjadi simbol ketidakberdayaan, karena yang seharusnya melaksanakannya malah yang melanggar. Apa gunanya aturan tentang akses informasi jika pejabat yang bertugas justru menutup pintu dengan rapat?

Ketidaktaatan ini tidak sekadar masalah formalitas hukum — ia memiliki dampak nyata pada warga. PPID Kota Probolinggo telah merampas hak warga Kelurahan Pilang, Kecamatan Kademangan, atas gugatan yang mereka menangkan, bahkan beratraksi terhadap perintah KI Jatim untuk membuka dan memberikan salinan dokumen yang dimohonkan. Alih-alih informasi lengkap, yang diberikan hanyalah selembar kertas yang tidak berharga.

Dokumen yang diminta adalah surat pertanggung jawaban (SPJ) kegiatan Festival Gir Sereng Pantai Permata (8 September 2024) dan Pramusrenbang (31 Januari 2025) — keduanya menggunakan Anggaran Belanja Pemerintah Daerah (ABPD) yang bersumber dari uang pajak rakyat. Merasa teraniaya, warga Pilang bahkan telah mendesak Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim untuk melakukan audit terhadap pengelolaan dana tersebut — menunjukkan bahwa ketidaktaatan PPID berpotensi menyembunyikan pelanggaran lain yang merugikan masyarakat.

Kasus PPID Kota Probolinggo adalah cerminan kesenjangan yang tajam antara harapan dan realitas negara hukum di Indonesia. Negara yang seharusnya menjadikan hukum sebagai pedoman utama justru dihadapkan pada situasi di mana penguasa berperilaku seolah-olah berada di atas hukum — menciptakan budaya impunitas, di mana pelanggaran pejabat tidak mendapat konsekuensi yang tepat.

Penting untuk dicatat bahwa Pemkot Probolinggo pernah melakukan upaya positif: pada Maret 2024, mereka mengadakan pelatihan penyusunan daftar informasi publik dengan narasumber dari KI Jatim. Namun, upaya itu menjadi sia-sia jika tidak diiringi dengan kepatuhan yang tegas dari para pejabat.

Jika hal ini terus berlanjut, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi hukum akan terus menurun. Negara hukum yang kita impikan akan hanyut menjadi omong kosong, dan rakyat yang seharusnya menjadi pemilik negara akan terus merasa terpinggirkan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya serius dari semua pihak. Pertama, lembaga penegak hukum harus tegas dan konsisten menindak pelanggaran hukum oleh pejabat publik, termasuk ketidaktaatan terhadap putusan KI dan PTUN. Kedua, pemerintah daerah harus meningkatkan kesadaran dan kapasitas pejabatnya tentang pentingnya UU KIP, serta memastikan pelatihan tidak hanya sekadar bentuk. Ketiga, masyarakat harus aktif memantau pelaksanaan hukum dan menuntut akuntabilitas — seperti yang dilakukan warga Pilang yang mendesak audit.

Hukum tidak akan berfungsi jika hanya ada di kertas. Ia membutuhkan kesadaran dan kepatuhan dari semua pihak, terutama mereka yang diberikan wewenang. Kasus PPID Kota Probolinggo harus menjadi peringatan keras: ketidaktaatan penguasa terhadap hukum adalah ancaman serius bagi keberadaan negara hukum dan demokrasi kita. [Red]

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *