MATARAM – | Pemerhati hukum Nusa Tenggara Barat (NTB), Suparjo Rustam, SH. C. Med., angkat bicara terkait kasus viral pernikahan anak di bawah umur antara YL-YM (14 tahun) dan RD (16 tahun) yang kini telah dilaporkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram ke Polres Lombok Tengah.
Menurut Suparjo, langkah hukum yang diambil oleh LPA Mataram justru mencerminkan kegagalan lembaga tersebut dalam menjalankan fungsi dasarnya sebagai pelindung anak. “Ini bentuk kebobrokan LPA Mataram. Alih-alih melindungi, mereka justru berupaya memenjarakan anak-anak,” tegas Suparjo, Senin (26/5/2025).
Lebih lanjut, Suparjo menilai bahwa pelaporan pidana seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) dalam menangani kasus seperti ini. “Bukankah penyelesaian secara persuasif, edukatif, dan berbasis kearifan lokal bisa lebih tepat dalam situasi ini?” tambahnya.
Suparjo pun menyinggung ketentuan hukum yang berlaku, seperti Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia minimal perkawinan—yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki—serta Pasal 7 ayat (3) mengenai mekanisme dispensasi nikah. Namun, ia menekankan bahwa dalam kasus ini, aspek adat istiadat juga harus diperhitungkan.
“Pernikahan usia muda di Lombok Tengah bukan hal baru. Itu bagian dari tradisi budaya yang dikenal dengan istilah melari, yang telah hidup sejak lama di tengah masyarakat,” ujar Suparjo.
Ia mengingatkan bahwa negara pun mengakui eksistensi hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“LPA Mataram semestinya menjadi wadah yang mengayomi dan mendampingi anak-anak ini, bukan justru menjerumuskan mereka dalam proses hukum yang bisa memunculkan trauma jangka panjang,” kata Suparjo. “Efek jera tidak harus dengan jeruji besi. Kadang yang mereka butuhkan adalah pelukan dan pendidikan, bukan interogasi dan ancaman pidana.”
Ia pun mengajak semua pihak untuk menempatkan kemanfaatan hukum di atas sekadar kepastian hukum dalam menyelesaikan kasus pernikahan dini. “Hukum kita harus berfungsi melindungi, bukan melukai. Apalagi terhadap anak-anak kita sendiri.”
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak LPA Mataram terkait kritik tajam yang dilontarkan oleh Suparjo Rustam.
Silakan beri tahu jika ingin menambahkan kutipan, detail lokasi, atau memperkuat bagian hukum adat. (Fa)